Kamis, 19 Februari 2015

SEKOLAH SISTEM PABRIK - Tradisi kebingungan turun temurun

Ada yang sadar tidak sih kalau sekolah-sekolah kita sebenarnya didesain lebih mirip pabrik manufaktur ketimbang sebagai tempat untuk belajar. Pabrik tempat mencetak barang dengan bentuk yang sama dalam jumlah massal. Dan diakhir produksi, ada bagian Quality Control (baca : Ujian Nasional) yang menyeleksi mana yg OK dan mana yg DEFECT.

Di sekolah, kita dibentuk jadi orang yang memiliki standar spesifikasi yang harus sama. Ada standarisasi nilai yang dibuat secara sepihak oleh otoritas. Anak yang hebat dalam pelajaran eksak dianggap anak-anak cerdas kesayangan para guru dan kebanggaan orang tua. Sementara, anak-anak yang hanya  pandai menggambar atau bernyanyi hanya dianggap anak berbakat. jauh sekali dari sebutan cerdas. Mereka mungkin hanya ditampilkan setahun sekali dia acara seremonial perpisahan anak kelas 3. Jurusan-jurusan lain selain IPApun dianggap jurusan yang kurang bergengsi.

Apa akibat sistem sekolah ala pabrik begini?

Begitu lulus sekolah, kita tidak tau sebenarnya potensi kecerdasan kita dimana? 

Padahal setiap individu terlahir dengan kecerdasan masing-masing yang unik. Tidak seperti barang pabrik yang sama. Seorang ilmuwan pernah bilang kalau manusia itu the universe of one. Masing-masing punya 'alam semestanya' sendiri. Karena dari zaman nabi Adam sampai sekarang tidak ada satupun manusia di dunia ini yang terlahir sama persis. We're limited edition

Akibat tidak pernah tahu potensi diri kita apa, banyak dari kita yang pilih jurusan kuliah pun ikut-ikutan teman. Atau dipaksa ortu. Atau cari mana jurusan yang paling prospektif dan bisa menghasilkan banyak uang di masa depan. Padahal sekarang kita tahu, yang bikin seseorang sukses dan dibayar mahal bukan MASALAH APA JURUSANNYA tapi MASALAH KOMPETENSINYA. Profesi dokterpun banyak yg biasa-biasa saja jika ia tidak kompeten. Sementara,  banyak musisi, olahragawan atau Chef lebih sukses karena kompetensinya. Padahal dulu anak-anak yang punya bakat seperti ini tidak dianggap apa-apa. Bahkan kalau si anak mau ambil jurusan-jurusan tersebut, orang tuanya langsung marah “mau makan apa kamu nanti?”. Akhirnya banyak sekali anak-anak yang salah jurusan.

Dalam pekerjaanpun sama saja. Menurut penelitian, konon 90% orang Indonesia bekerja di bidang yang tidak sesuai potensi dirinya. Akhirnya banyak yang tidak kompeten di karirnya, tidak expert, setengah-setengah, karir mentok, dsb. Semuanya karena tidak enjoy dalam pekerjaan akibat memilih bidang yang tidak sesuai potensi dan passion nya.


Maka hasilnya adalah kebingungan dalam diri kita masing-masing. Dan masing-masing kita hanya diam dan menyimpan sendiri kebingungan-kebingungan kita tersebut setelah lulus sekolah dan mulai memasuki kehidupan nyata. Kita berjuang sendiri-sendiri menjawab kebingungan-kebingungan tersebut. Ada yang survive dan akhirnya menemukan passion nya, namun tidak sedikit yang terus diombang ambing dalam kebingungannya. Akibatnya, ada yang kuliah sama profesinya tidak nyambung. Ada yang sebentar-sebentar pindah profesi. Ada yang kerja tapi setiap hari mengeluh terus. Ada yang ikut-ikutan bisnis MLM padahal bukan passionnya, dst.


Ironisnya, tradisi sekolah dengan sistem pabrik begini kita teruskan kepada anak-anak kita…Akhirya jadilah tradisi kebingungan kita ini turun menurun. Dari generasi ke generasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar