Rabu, 09 Maret 2016

BUMI, BULAN DAN MATAHARI

Suatu hari sekelompok siswa kelas 4 SD mendengarkan penjelasan guru mereka saat pelajaran IPA berlangsung. Anak-anak mendengarkan dengan tenang. Ibu guru mulai menerangkan beberapa fakta yang harus dihafal anak-anak tentang perbedaan antara rotasi dan evolusi bumi dan bulan. “Tolong ya anak-anak, harap kalian hafal baik-baik karena akan keluar di ujian semester nanti!”. 

Malam sebelum ujian, anak-anak menghafal pelajaran tersebut. Budi siswa paling ‘pintar’ di kelas itu kelihatan sangat percaya diri karena sudah bisa menyebutkan satu per satu definisi rotasi dan evolusi bumi atau bulan mirip seperti di buku (bahkan sampai titik komanya). Melihat caranya menghafal kita semua pasti yakin kalau Budi besok pasti dapat nilai 10. Tidak heran ia selalu rangking 1 di kelasnya.

Lain lagi dengan Joni, anak yang dikenal dengan kecerdasan yang ‘biasa saja’ di kelas. Ia kelihatan bingung dan minta tolong ayahnya untuk dijelaskan ulang perbedaan rotasi dan evolusi. Ayahnyapun heran bagaimana mungkin anaknya tidak memahami konsep sederhana ini bahkan setelah ia mendemonstrasikanya berulang-ulang dengan bantuan bola-bola mainan. Dengan sabar ayahnyapun bertanya “Apa yang membuat kamu tidak mengerti nak?”. Joni pun menjawab: “Aku tidak ngerti yah. Kalau memang bulan itu berputar pada porosnya dan ia juga berputar mengelilingi bumi, dan bumi juga berputar pada porosnya dan ia berputar mengelilingi matahari, lalu kenapa setiap aku melihat bulan, kok yang terlihat hanya permukaan yang itu-itu saja??” Ayahnya pun terbengong. Ia baru sadar kalau bulan memang selalu menampakan permukaan yang itu-itu saja dan ‘enggan’ menampakan wajahnya yang lain. Iapun berpikir bagaimana mungkin saya tidak pernah kepikiran? 

Menurut anda siapa yang sebenarnya lebih cerdas, Budi atau Joni? Saya yakin anda pasti menjawab Jonilah yang lebih cerdas. Sayangnya tidak dengan sistem sekolah kita. Dari tingkat SD hingga perguruan tinggi, sistem pendidikan kita lebih menghargai seseorang dari kemampuan menjawab soal-soal yang sudah ada jawabannya di buku ketimbang bertanya dan menemukan hal-hal baru yang tidak ada di buku. Kita selalu diajarkan untuk menjawab soal, bukan ‘bertanya’ dan ‘mempertanyakan jawaban’. Jangan heran betapa banyak mahasiswa yang bingung saat disuruh bertanya dosennya. Merekapun bingung “mau tanya apa?”. 

Salah satu teman saya yang guru juga pernah bercerita waktu ia ingin merubah metode mengajarnya dimana ia meminta siswa aktif belajar dengan cara bertanya, ia malah ‘mati gaya’ karena tidak ada satu siswapun yang mau bertanya. Akhirnya ia kembali mengajar dengan metode ceramah. 

Menurut saya menuntut ilmu bukanlah menghabiskan jam-jam di ruang kelas untuk mengumpulkan fakta-fakta yang harus dihafal diluar kepala. Lebih dari itu menuntut ilmu adalah  mengungkap apa yang menjadi rasa ingin tahu atau rasa penasaran kita. Bahkan jika itu hanya penasaran ingin mengetahui hal-hal yang kedengaran konyol seperti bertanya:
  • Jika kita berkendaraan lebih cepat dari kecepatan suara, mungkinkah kita bisa mendengarkan suara radio
  • Bila udara panas selalu naik keatas, mengapa hawa dipegunungan terasa dingin?
  • Jika semua orang di bumi melompat secara bersamaan, apakah orbit bumi akan berubah?
  • Mengapa di cermin bisa terbalik arah kiri dan kanan tapi tidak terbalik arah atas dan bawah?
  • Bisakah kita mengoperasikan mesin penghisap debu di ruang hampa?

Semua ilmuwan besar lahir dari kegembiraan mereka akan rasa penasaran dan ingin tahu. Bahkan sekalipun itu terlihat konyol dan lucu. Newton penasaran mengapa buah apel jatuh ke bumi. Kalau Newton mengungkapkan pertanyaan itu kepada kita, mungkin kita akan menjawab “Sudah dari zaman nabi Adam juga begitu kali!’. Tapi apa yang terjadi? Hey, Newton menemukan hukum gravitasi!.  Socrates bahkan pernah bertanya kepada seseorang yang mau pergi ke pasar “Mengapa anda harus pergi ke pasar? Mengapa anda harus berjualan? Mengapa anda harus memenuhi kebutuhan hidup anda?” hanya untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Suatu hari ketika si jenius Einstein ditanya seseorang tentang definisi kecepatan suara. Einstein menjawab “Wah saya lupa, kamu cari saja jawabannya di buku. Saya tidak mau memenuhi kepala saya dengan fakta-fakta yang sudah ditemukan manusia!”  

Di sekolah anak-anak disuguhi dengan ‘paket-paket pengetahuan siap saji’ yang harus mereka telan bulat-bulat. Sedikit sekali proses kreatif dan kritis disitu. Coba tanya berapa banyak anak sekolah (bahkan mahasiswa) yang datang ke ruang kelas dengan beribu-ribu tanda tanya di kepala mereka? Anak-anak yang datang dengan sejuta rasa penasaran ingin mengungkap apa yang mereka tidak tahu? Hampir tidak ada! Mereka belajar hanya untuk mendapatkan selembar ijazah dan gelar. Mereka memasukan sebanyak-banyaknya fakta di buku ke dalam kepala mereka dan memuntahkannya saat ujian. Seminggu setelah ujian berlalu, hilanglah semua fakta itu.

Disinilah seharusnya sistem pendidikan kita mulai merubah orientasi berpikir mereka. Dari penghargaan ‘menjawab soal teks’ menjadi penghargaan ‘menemukan pertanyaan’. Itulah kenapa saya senang saat beberapa hari lalu dosen saya memberikan nilai bukan dari jawaban mahasiswanya, tapi dari pertanyaannya. Bagi saya ini terobosan hebat. Seperti ungkapan yang mengatakan “Nilailah seseorang dari pertanyaan-pertanyaannya”

10 komentar:

  1. Wah keren...
    iya bener tuh, pembelajaran di Indonesia seperti candu saja, sedikit yang sadar akan kreatifitas dan inovasi

    mantap mas...

    BalasHapus
  2. aku yg ingin merubah terbentur dengan birokrasi dan sistem pendidikan di negara kita..mau dibawa kemana arah pendidikan kita..

    BalasHapus
  3. Hm.. Iya benar, sistem pendidikan kita baru hanya mencetak penghafal tanpa mengerti hakekat yang sebenarnya. Penting sekali mengerti sesuatu yang kita baca. Terima kasih, mencerahkan mas

    BalasHapus
  4. aku yg ingin merubah terbentur dengan birokrasi dan sistem pendidikan di negara kita..mau dibawa kemana arah pendidikan kita..

    BalasHapus
  5. Setuju. Tulisan yang mencerahkan.
    Ada yang bilang, masuk sekolah berarti masuk ke kotak-kotak yang membatasi pikiran kita.

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. oiya.. maaf, baru izin.. kmarin sy pinjam link blogx utk sy masukin ke tulisan sy, link utk tulisan 'matematika kesuksesan' itu juga keren 👍😁

    BalasHapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  9. sangat menarik.
    suka dgn tulisan2 sprti ini. smoga bisa blajar lewat tulisan2nya. Terima kasih..

    BalasHapus
  10. waaahh... terinspirasi dari cara mengajarnya ka ano ya mas... tapi memang harus seperti itu jadi kita tahu ga hanya berbagai hal walaupun diluar materi

    BalasHapus