Suatu hari
saat jalan-jalan sore bersama istri saya, kami melihat kerumunan orang
mengagumi beberapa motor gede berharga ratusan juta yang dipamerkan di tengah
plaza sebuah mall. Istri saya bilang “Wah, ayah ganteng banget tuh kalau naik
motor kaya gitu” Tentu saja istri saya hanya bercanda, karena dia tahu naik kendaraan
apapun sebenarnya suaminya sudah ganteng (..ehm). Seperti biasanya saya selalu
menjawab “wah.. nggak minat tuh”
Sebenarnya
istri saya sudah tahu kalau beberapa tahun terakhir saya sudah kehilangan daya
tarik pencapaian materialistik model diatas. Tidak seperti beberapa tahun
sebelumnya yang selalu punya impian ingin beli barang-barang branded, motor dan
mobil mewah, rumah impian dan berbagai barang-barang yang menunjukan
keberhasilan pencapaian hidup. Seminar-seminar bisnis multilevel yang khas
menampilkan orang-orang dengan keberhasilan materi berlimpah hanya dalam beberapa
tahun pun dahulu begitu menggoda saya.
Sebenarnya
tidak ada yang salah menjadi orang yang kaya raya. Bahkan sampai hari inipun
saya masih bercita-cita jadi orang kaya (bahkan super kaya raya). Namun
perubahan paradigma terjadi setelah saya membaca sebuah tulisan yang mencerahkan berjudul “Hedonic Treadmill”.
Kita pasti
pernah melihat atau bahkan berlari diatas mesin treadmill untuk berolahraga. Waktu zaman saya kecil dulu mesin ini
masih manual dan belum ada motor elektriknya sehingga semakin cepat kita
berlari semakin kita dipaksa mengikuti kecepatan mesin tersebut. Orang-orang
yang menaiki mesin Hedonic Treadmill
seperti masuk dalam perangkap materialisme yang tidak pernah terpuaskan dan dijamin
sulit menggenggam kebahagiaan yang sejati. Sudah punya kendaraan satu ingin
dua. Punya jam mewah satu ingin koleksi yang lain. Lihat teman beli tas branded,
ingin ikut memilikinya. Tidak lama setelah beli kita pun menginginkan tas model
lain. Begitu seterusnya. Semakin cepat kita berlari semakin tidak terkejar apa
yang kita inginkan.
Saya pernah
mengalami masa-masa ini. Barang-barang yang sudah dibeli hanya membuat bahagia
paling lama 3-6 bulan. Barang-barang yang saya idam-idamkan hingga tidak bisa
tidur, setelah dimiliki tidak mampu membahagiakan lagi. Sayapun berburu
barang-barang yang lebih bertenaga lagi untuk menumbuhkan
semangat kebahagiaan dalam diri. Tetapi setelah di dapat, lagi-lagi kebahagiaan
menguap begitu cepat. Begitulah rasanya berada diatas mesin ini. Apa yang sudah
kita dapatkan membuat kita semakin sulit berhenti karena mesin treadmill bergerak semakin cepat.
Menjalani
kehidupan di kota besar seperti menjalani sebuah kompetisi materi yang jika
tidak diwaspadai akan menyeret kita masuk ke atas mesin Hedonic treadmill.
Tuntutan sosial dari lingkungan sekitar untuk tampil “sukses” sering membuat
kita hidup dalam skenario orang lain dan sulit menjadi diri sendiri. Saat
teman-teman kita mengupload foto-foto trip perjalanan keliling dunianya di
media sosial kitapun mulai menyelipkan sebuah perasaan tidak nyaman di dalam hati.
Merk-merk motor dan mobil terbaru terus salip menyalip memenuhi jalan raya, membuat
kendaraan yang belum 5 tahun kita beli jadi terlihat kuno desainnya. Iklan-iklan
di TV pun seperti ingin mengatakan apa yang kita miliki dirumah sudah jelek dan
usang. Begitulah tanpa kita sadari perlahan-lahan kebahagiaan hidup mulai terenggut.
Saya
jadi teringat kata-kata Gede Prama “Uang, harus diakui, memang sejenis energi
kehidupan. Namun tanpa kemampuan mengelola yang memadai, ia menjadi kuda yang
minta digendong. Disamping berat, juga membuat sang hidup meneteskan air mata
di sepanjang jalan”
Setelah
memahami betapa mesin ini bisa mencuri kebahagiaan hidup, sayapun memutuskan untuk
berhenti menaiki mesin ini dan belajar mensyukuri apa yang sudah saya miliki.
Saya menyortir kembali satu per satu mana yang sebenarnya ‘kebutuhan’ dan mana
yang ‘keinginan’. Tidak mudah memang. Butuh disiplin tinggi untuk selalu
menasehati diri. Untungnya saya memiliki istri yang punya value sama dalam
memandang materi. Suatu hari dia pernah shock saat mendengar ada temannya yang
menjual tas atau kaca mata bermerk seharga jutaan rupiah. Padahal menurutnya ia
sulit membedakan kualitas mana yang mahal dan mana yang biasa saja kecuali dari
logo merknya. Saat harus belanja bulanan di supermarket, ia juga kelihatan
tidak fanatik harus membeli merk tertentu. Kalau saya perhatikan, ia lebih
senang memilih merk apapun yang murah tapi cukup bagus dan ada tulisan
“BERHADIAH PIRING CANTIK!”.
👍👍👍
BalasHapuspenutupnya lucu "Berhadiah Piring Cantik"
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapushehehe satu spesies berarti ma aku.. suka hadiah piring canti, mangkuk cantik, gelas cantik..:D
BalasHapus