Kamis, 10 Maret 2016

HEDONIC TREADMILL

Suatu hari saat jalan-jalan sore bersama istri saya, kami melihat kerumunan orang mengagumi beberapa motor gede berharga ratusan juta yang dipamerkan di tengah plaza sebuah mall. Istri saya bilang “Wah, ayah ganteng banget tuh kalau naik motor kaya gitu” Tentu saja istri saya hanya bercanda, karena dia tahu naik kendaraan apapun sebenarnya suaminya sudah ganteng (..ehm). Seperti biasanya saya selalu menjawab “wah.. nggak minat tuh”

Sebenarnya istri saya sudah tahu kalau beberapa tahun terakhir saya sudah kehilangan daya tarik pencapaian materialistik model diatas. Tidak seperti beberapa tahun sebelumnya yang selalu punya impian ingin beli barang-barang branded, motor dan mobil mewah, rumah impian dan berbagai barang-barang yang menunjukan keberhasilan pencapaian hidup. Seminar-seminar bisnis multilevel yang khas menampilkan orang-orang dengan keberhasilan materi berlimpah hanya dalam beberapa tahun pun dahulu begitu menggoda saya. 


Sebenarnya tidak ada yang salah menjadi orang yang kaya raya. Bahkan sampai hari inipun saya masih bercita-cita jadi orang kaya (bahkan super kaya raya). Namun perubahan paradigma terjadi setelah saya membaca sebuah tulisan yang mencerahkan berjudulHedonic Treadmill”. 


Kita pasti pernah melihat atau bahkan berlari diatas mesin treadmill untuk berolahraga. Waktu zaman saya kecil dulu mesin ini masih manual dan belum ada motor elektriknya sehingga semakin cepat kita berlari semakin kita dipaksa mengikuti kecepatan mesin tersebut. Orang-orang yang menaiki mesin Hedonic Treadmill seperti masuk dalam perangkap materialisme yang tidak pernah terpuaskan dan dijamin sulit menggenggam kebahagiaan yang sejati. Sudah punya kendaraan satu ingin dua. Punya jam mewah satu ingin koleksi yang lain. Lihat teman beli tas branded, ingin ikut memilikinya. Tidak lama setelah beli kita pun menginginkan tas model lain. Begitu seterusnya. Semakin cepat kita berlari semakin tidak terkejar apa yang kita inginkan. 


Saya pernah mengalami masa-masa ini. Barang-barang yang sudah dibeli hanya membuat bahagia paling lama 3-6 bulan. Barang-barang yang saya idam-idamkan hingga tidak bisa tidur, setelah dimiliki tidak mampu membahagiakan lagi. Sayapun berburu barang-barang yang lebih bertenaga lagi untuk menumbuhkan semangat kebahagiaan dalam diri. Tetapi setelah di dapat, lagi-lagi kebahagiaan menguap begitu cepat. Begitulah rasanya berada diatas mesin ini. Apa yang sudah kita dapatkan membuat kita semakin sulit berhenti karena mesin treadmill  bergerak semakin cepat.


Menjalani kehidupan di kota besar seperti menjalani sebuah kompetisi materi yang jika tidak diwaspadai akan menyeret kita masuk ke atas mesin Hedonic treadmill. Tuntutan sosial dari lingkungan sekitar untuk tampil “sukses” sering membuat kita hidup dalam skenario orang lain dan sulit menjadi diri sendiri. Saat teman-teman kita mengupload foto-foto trip perjalanan keliling dunianya di media sosial kitapun mulai menyelipkan sebuah perasaan tidak nyaman di dalam hati. Merk-merk motor dan mobil terbaru terus salip menyalip memenuhi jalan raya, membuat kendaraan yang belum 5 tahun kita beli jadi terlihat kuno desainnya. Iklan-iklan di TV pun seperti ingin mengatakan apa yang kita miliki dirumah sudah jelek dan usang. Begitulah tanpa kita sadari perlahan-lahan kebahagiaan hidup mulai terenggut.


Saya jadi teringat kata-kata Gede Prama “Uang, harus diakui, memang sejenis energi kehidupan. Namun tanpa kemampuan mengelola yang memadai, ia menjadi kuda yang minta digendong. Disamping berat, juga membuat sang hidup meneteskan air mata di sepanjang jalan”


Setelah memahami betapa mesin ini bisa mencuri kebahagiaan hidup, sayapun memutuskan untuk berhenti menaiki mesin ini dan belajar mensyukuri apa yang sudah saya miliki. Saya menyortir kembali satu per satu mana yang sebenarnya ‘kebutuhan’ dan mana yang ‘keinginan’. Tidak mudah memang. Butuh disiplin tinggi untuk selalu menasehati diri. Untungnya saya memiliki istri yang punya value sama dalam memandang materi. Suatu hari dia pernah shock saat mendengar ada temannya yang menjual tas atau kaca mata bermerk seharga jutaan rupiah. Padahal menurutnya ia sulit membedakan kualitas mana yang mahal dan mana yang biasa saja kecuali dari logo merknya. Saat harus belanja bulanan di supermarket, ia juga kelihatan tidak fanatik harus membeli merk tertentu. Kalau saya perhatikan, ia lebih senang memilih merk apapun yang murah tapi cukup bagus dan ada tulisan “BERHADIAH PIRING CANTIK!”.

3 komentar:

  1. 👍👍👍

    penutupnya lucu "Berhadiah Piring Cantik"

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. hehehe satu spesies berarti ma aku.. suka hadiah piring canti, mangkuk cantik, gelas cantik..:D

    BalasHapus