Tentu saja judul buku diatas menarik perhatian saya saat pertama kali melihatnya di rak sebuah toko buku. Judul yang sangat provokatif! Bayangkan, saat semua orang mengatakan bahwa pendidikan adalah jalan emas bagi masa depan, judul buku ini malah mengajak orang untuk meninggalkan sekolah. James Marcus Bach, penulis buku ini adalah seorang anak muda berusia 24 tahun yang memiliki karir cemerlang sebagai manajer pengujian Software di Apple Computer. James yang memiliki segudang pengalaman dan port folio di bidang pengembangan software ini bahkan tidak lulus SMA. Hebatnya, ia berhasil menembus rimba Sillicon Valley di usianya yang masih sangat belia setelah mengembangkan sebuah konsep pendidikan yang unik bagi dirinya.
Saat awal membaca buku ini, kita akan dikejutkan oleh banyak
sekali pandangan yang terkesan ‘nakal’ dan mendobrak pakem. Suatu saat James
diundang di sebuah sekolah SMA untuk memberikan ceramah motivasi di depan
ratusan siswa. Si kepala sekolah dan para guru di sekolah tersebut dibuat
kebakaran jenggot saat James mengatakan kepada para siswa bahwa sekolah itu
tidak penting. Ia mengatakan “Kalau kalian tidak bahagia di sekolah,
tinggalkanlah tempat ini. Sekolah hanya membuang waktu”. Kalimat seperti ini hanya
sedikit contoh dari kalimat ‘motivasi’ James kepada para siswa. Saya tidak bisa
membayangkan jika pembicaraan itu ia katakan di depan siswa SMA tempat sekolah saya
dulu pasti gaduh luar biasa karena banyak siswa yang bertepuk tangan gembira.
Setelah membaca keseluruhan buku ini saya baru menyadari bahwa
James benar. Ia sebenarnya tidak hendak mengajak orang untuk meninggalkan
sekolah, namun mengajak orang untuk meninggalkan paradigma yang salah tentang
pendidikan. Menurutnya pendidikan bukanlah mengumpulkan setumpuk fakta. Bukan
pula jam-jam yang kita habiskan diruang-ruang kelas, atau bagaimana kita
menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian. Pendidikan bukan indoktrinasi, atau
mempercayai begitu saja apa yang dianggap penting dan tidak penting. Bagi
James, pendidikan adalah tentang memunculkan “anda” melalui proses pembelajaran
yang anda lakukan. Pembelajaran yang seharusnya datang dari dalam diri anda bukan
datang dari keterpaksaan menjalani serangkaian kurikulum dan silabus
pembelajaran.
Sayapun baru menyadari selama ini paradigma kita tentang
pendidikan telah begitu dibatasi oleh sekolah. Kita mendefinisikan pendidikan
sebagai sekolah. Sekolahlah bagi masyarakat kita adalah satu-satunya entitas
yang mewakili maksud dari pendidikan. Coba saja tanya sama para orang tua yang
menghome-schoolingkan anaknya, mereka pasti sering dibombardir dengan
pertanyaan orang sekitar mereka “Mau
jadi apa anaknya nanti?”. Saat menggambarkan tentang pendidikanpun kita
langsung membayangkan keharusan kita mendatangi sebuah gedung yang di dalamnya
ada kepala sekolah, guru, rangkaian mata pelajaran, ujian semester, nilai,
ijasah dan seterusnya. Semua realitas tentang sekolah kita telan bulat-bulat
sebagai keharusan dan satu-satunya kebenaran tentang pendidikan. Orang yang
tidak mengenyam sekolah kita anggap orang yang tidak berpendidikan. Sebaliknya
orang yang pernah bersekolah kita anggap pasti orang yang berpendidikan.
James Bach ingin mendobrak semua itu. Ia mengatakan bahwa pendidikan
jauh lebih penting dan berharga ketimbang sekolah itu sendiri. Pendidikan
adalah proses belajar kapanpun, dimanapun dan dengan cara apapun. “Kita
seharusnya memiliki sistem untuk mendidik diri kita sendiri tanpa peduli harus
pergi ke sekolah atau tidak dan mendorong diri kita menemukan passion di dalam
diri kita” begitu katanya. Ia menganggap selama ini sekolah terlalu bertumpu
pada standarisasi dan menghilangkan kegembiraan belajar. Seharusnya sekolah
bisa menjadi tempat dimana siswa menemukan kegairahan belajar. Tapi apa yang
terjadi dengan pendidikan di sekolah adalah siswa menganggap pendidikan merupakan
sebuah beban yang harus mereka pikul. Mereka terjebak dalam sebuah frame bahwa
belajar adalah untuk mencari nilai ijasah dan untuk masa depan yang cerah. Tanpa
sekolah tak mungkin ada masa depan. Kegembiraan belajar digantikan dengan
keharusan belajar. Padahal kita tahu, seluruh pencapaian besar harus ditenagai
oleh energi yang begitu besar. Dan energi itu hanya bisa di dapat dari
kegembiraan belajar itu sendiri. Sedangkan energi keharusan hanya mampu
mengangkat seseorang pada level standar
Dalam konteks James Bach, kita bisa membayangkan dengan
membuat perbandingan kira-kira mana yang paling efektif proses belajarnya.
Seorang siswa yang dipaksa mengikuti mata pelajaran kalkulus untuk memenuhi
standar nilai evaluasi belajar atau seorang anak yang sangat ingin mempelajari
cara mengembangkan sebuah software sehingga ia tertarik memahami kalkulus. Saya
yakin anak yang kedua akan menemukan kegembiraan belajarnya. Tidak heran James
Bach sangat menyukai ‘kalkulus’ walaupun ia membeneci ‘mata pelajaran kalkulus’.
Kedepannya nanti orang-orang sejenis James Bach akan semakin
banyak bermunculan. Duniapun semakin
menghargai orang-orang seperti mereka yang mampu memperlihatkan hasil
belajarnya dalam bentuk prestasi dan port folio yang lebih real ketimbang
lembaran ijazah yang kadang tidak relevan menggambarkan kemampuan individu. Setelah
membaca buku ini saya jadi tidak lagi heran ketika mendengar berita seorang
anak muda Jepang bernama Kenji Eno yang tidak lulus SMA, bosan sekolah dan
memutuskan berimajinasi sendiri dengan membuat software-software games. Anak
muda ini berhasil mendirikan perusahaan games kelas satu bernama WARP yang mendunia
hingga dijuluki ‘God of the game market’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar