Senin, 14 Maret 2016

TINGGALKAN SEKOLAH SEBELUM TERLAMBAT!


Tentu saja judul buku diatas menarik perhatian saya saat pertama kali melihatnya di rak sebuah toko buku. Judul yang sangat provokatif! Bayangkan, saat semua orang mengatakan bahwa pendidikan adalah jalan emas bagi masa depan, judul buku ini malah mengajak orang untuk meninggalkan sekolah.  James Marcus Bach, penulis buku ini adalah seorang anak muda berusia 24 tahun yang memiliki karir cemerlang sebagai manajer pengujian Software di Apple Computer. James yang memiliki segudang pengalaman dan port folio di bidang pengembangan software ini bahkan tidak lulus SMA. Hebatnya, ia berhasil menembus rimba Sillicon Valley di usianya yang masih sangat belia setelah mengembangkan sebuah konsep pendidikan yang unik bagi dirinya.

Saat awal membaca buku ini, kita akan dikejutkan oleh banyak sekali pandangan yang terkesan ‘nakal’ dan mendobrak pakem. Suatu saat James diundang di sebuah sekolah SMA untuk memberikan ceramah motivasi di depan ratusan siswa. Si kepala sekolah dan para guru di sekolah tersebut dibuat kebakaran jenggot saat James mengatakan kepada para siswa bahwa sekolah itu tidak penting. Ia mengatakan “Kalau kalian tidak bahagia di sekolah, tinggalkanlah tempat ini. Sekolah hanya membuang waktu”. Kalimat seperti ini hanya sedikit contoh dari kalimat ‘motivasi’ James kepada para siswa. Saya tidak bisa membayangkan jika pembicaraan itu ia katakan di depan siswa SMA tempat sekolah saya dulu pasti gaduh luar biasa karena banyak siswa yang bertepuk  tangan gembira.
  
Setelah membaca keseluruhan buku ini saya baru menyadari bahwa James benar. Ia sebenarnya tidak hendak mengajak orang untuk meninggalkan sekolah, namun mengajak orang untuk meninggalkan paradigma yang salah tentang pendidikan. Menurutnya pendidikan bukanlah mengumpulkan setumpuk fakta. Bukan pula jam-jam yang kita habiskan diruang-ruang kelas, atau bagaimana kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian. Pendidikan bukan indoktrinasi, atau mempercayai begitu saja apa yang dianggap penting dan tidak penting. Bagi James, pendidikan adalah tentang memunculkan “anda” melalui proses pembelajaran yang anda lakukan. Pembelajaran yang seharusnya datang dari dalam diri anda bukan datang dari keterpaksaan menjalani serangkaian kurikulum dan silabus pembelajaran.

Sayapun baru menyadari selama ini paradigma kita tentang pendidikan telah begitu dibatasi oleh sekolah. Kita mendefinisikan pendidikan sebagai sekolah. Sekolahlah bagi masyarakat kita adalah satu-satunya entitas yang mewakili maksud dari pendidikan. Coba saja tanya sama para orang tua yang menghome-schoolingkan anaknya, mereka pasti sering dibombardir dengan pertanyaan orang sekitar mereka  “Mau jadi apa anaknya nanti?”. Saat menggambarkan tentang pendidikanpun kita langsung membayangkan keharusan kita mendatangi sebuah gedung yang di dalamnya ada kepala sekolah, guru, rangkaian mata pelajaran, ujian semester, nilai, ijasah dan seterusnya. Semua realitas tentang sekolah kita telan bulat-bulat sebagai keharusan dan satu-satunya kebenaran tentang pendidikan. Orang yang tidak mengenyam sekolah kita anggap orang yang tidak berpendidikan. Sebaliknya orang yang pernah bersekolah kita anggap pasti orang yang berpendidikan.  

James Bach ingin mendobrak semua itu. Ia mengatakan bahwa pendidikan jauh lebih penting dan berharga ketimbang sekolah itu sendiri. Pendidikan adalah proses belajar kapanpun, dimanapun dan dengan cara apapun. “Kita seharusnya memiliki sistem untuk mendidik diri kita sendiri tanpa peduli harus pergi ke sekolah atau tidak dan mendorong diri kita menemukan passion di dalam diri kita” begitu katanya. Ia menganggap selama ini sekolah terlalu bertumpu pada standarisasi dan menghilangkan kegembiraan belajar. Seharusnya sekolah bisa menjadi tempat dimana siswa menemukan kegairahan belajar. Tapi apa yang terjadi dengan pendidikan di sekolah adalah siswa menganggap pendidikan merupakan sebuah beban yang harus mereka pikul. Mereka terjebak dalam sebuah frame bahwa belajar adalah untuk mencari nilai ijasah dan untuk masa depan yang cerah. Tanpa sekolah tak mungkin ada masa depan. Kegembiraan belajar digantikan dengan keharusan belajar. Padahal kita tahu, seluruh pencapaian besar harus ditenagai oleh energi yang begitu besar. Dan energi itu hanya bisa di dapat dari kegembiraan belajar itu sendiri. Sedangkan energi keharusan hanya mampu mengangkat seseorang pada level standar

Dalam konteks James Bach, kita bisa membayangkan dengan membuat perbandingan kira-kira mana yang paling efektif proses belajarnya. Seorang siswa yang dipaksa mengikuti mata pelajaran kalkulus untuk memenuhi standar nilai evaluasi belajar atau seorang anak yang sangat ingin mempelajari cara mengembangkan sebuah software sehingga ia tertarik memahami kalkulus. Saya yakin anak yang kedua akan menemukan kegembiraan belajarnya. Tidak heran James Bach sangat menyukai ‘kalkulus’ walaupun ia membeneci ‘mata pelajaran kalkulus’.

Kedepannya nanti orang-orang sejenis James Bach akan semakin banyak bermunculan.  Duniapun semakin menghargai orang-orang seperti mereka yang mampu memperlihatkan hasil belajarnya dalam bentuk prestasi dan port folio yang lebih real ketimbang lembaran ijazah yang kadang tidak relevan menggambarkan kemampuan individu. Setelah membaca buku ini saya jadi tidak lagi heran ketika mendengar berita seorang anak muda Jepang bernama Kenji Eno yang tidak lulus SMA, bosan sekolah dan memutuskan berimajinasi sendiri dengan membuat software-software games. Anak muda ini berhasil mendirikan perusahaan games kelas satu bernama WARP yang mendunia hingga dijuluki ‘God of the game market’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar