Senin, 21 Maret 2016

SEKOLAH ALA KICK ANDY




Ted Kaczynski adalah seorang siswa yang memiliki prestasi luar biasa. Ia terkenal sering loncat kelas karena pencapaian prestasi akademiknya yang mengagumkan banyak teman dan gurunya. Ia menyelesaikan studi SMAnya dalam waktu sangat cepat dan berhasil diterima di Harvard University di usianya yang masih 16 tahun. Selanjutnya si jenius ini meneruskan kuliahnya hingga mendapatkan gelar Ph.D. di bidang matematika dari University of Michigan.  

Saya tidak bisa membayangkan jika saya menjadi Ted Kaczynski waktu sekolah dulu. Betapa luar biasanya sekolah akan memperlakukan saya. Bayangkan, selain memiliki nilai akademik yang tinggi, di usia 16 tahun saya mampu memasuki sebuah universitas super bergengsi yang menjadi impian anak-anak pintar di seluruh dunia. Saya pasti akan menjadi topik obrolan yang inspiratif di ruang guru atau pertemuan para orang tua. Foto saya mungkin akan dipajang di ruang tamu sekolah diatas deretan piala-piala besar yang biasanya menjadi pemandangan khas kebanyakan ruang tamu sekolah kita. Teman-teman saya pasti akan begitu mengagumi saya dan bangga menceritakan bahwa saya adalah teman almamaternya dulu. 

Sampai disini saya yakin anda setuju dengan gambaran bahwa anak-anak seperti saya (eh..Ted Kaczynski maksudnya) pasti akan mendapatkan privilege luar biasa di sekolah dan menjadi anak kesayangan para guru. Tapi tunggu dulu! Ceritanya belum selesai sampai disini. Setelah beberapa tahun menjadi pengajar di University of California di Barkeley, Kaczynski mengundurkan diri dan pindah ke sebuah pedesaan di Montana dimana ia mengasingkan diri di sebuah rumah. Pada tahun 1996 ia ditangkap dan dihukum penjara seumur hidup sebagai pembunuh paling dicari di Amerika. Kaczynski didakwa sebagai dalang misteri rentetan paket mail-bomb yang dikirim ke rumah-rumah dan menyebabkan tewasnya banyak orang. 

Anda mungkin terkejut dengan cerita Ted diatas. Bagaimana siswa yang pintar dan mengagumkan di sekolah bisa menjadi pelaku kriminal yang tidak berperikemanusiaan. Anehnya, pertama kali membaca cerita Ted, saya sama sekali tidak terkejut. Fenomena anak seperti Ted hanyalah pucuk dari sebuah gunung es dimana bagian bawahnya masih lebih besar lagi. Dalam bentuknya yang lain, perilaku tidak berperikemanusiaan seperti Ted sebenarnya sangat subur kita jumpai di negri ini. Kalau anda cek secara teliti hampir semua koruptor kakap yang tertangkap aparat hukum adalah jebolan  pendidikan tinggi. Mereka bukan orang-orang yang minim prestasi. Beberapa diantara mereka bahkan doktor lulusan luar negri dari universitas bergengsi. Saat mereka melakukan korupsi mereka jelas melakukan tindakan tidak berperikemanusiaan. Bagaimana mungkin mereka bisa mengoleksi rumah dan mobil sport mewah dari uang yang seharusnya diberikan untuk anak seperti Yuliaman Zakaria (dan ratusan teman-temannya) si penderita gizi buruk yang hanya memiliki berat 7 kg di usianya yang sudah menginjak 8 tahun. Menurut saya para koruptor seperti ini memiliki tingkat kesadisan yang lebih tinggi dibanding Ted Kaczynski . Herannya mereka seperti tidak pernah ada habis-habisnya. Ditangkap satu tumbuh seribu. Fenomena terakhir malah mereka tertangkap secara berpasangan, suami dan istrinya. 

Semua ini karena ada yang salah pada proses di hulu ketimbang hilirnya : tradisi pendidikan kita! Tradisi pendidikan yang begitu membanggakan prestasi kognitif akan menghasilkan anak-anak yang cerdas otaknya tapi kosong jiwanya. Gambaran yang tadi saya berikan tentang privilage sekolah yang mengeluk-elukan anak-anak berprestasi kognitif adalah sebuah realitas yang hampir kita jumpai di semua sekolah . Makna pendidikan yang sejatinya bertujuan merubah perilaku manusia menjadi berkarakter mulia direduksi hanya sebagai capaian angka belaka. Cobalah rasakan suasana di hari pembagian rapor: Suasana yang sakral. Angka-angka menjadi tujuan dan pembicaraan serius.
Bahkan dalam waktu dekat ini anda akan banyak menjumpai spanduk-spanduk besar di depan gerbang sekolah. Isinya apalagi kalau bukan kegenitan sekolah untuk mengatakan “SEKOLAH KAMI 100% LULUS UN” . Inilah potret betapa angka-angka masih menjadi ‘panglima’ dalam tradisi pendidikan kita. Sekolah punya kewajiban memamerkan angka ketimbang menunjukan keberhasilan proses pendidikan mereka dari santunnya perilaku siswa. Pendidikan agama yang harusnya di dekati dengan teladan justru diaplikasikan dalam bentuk – lagi-lagi - hafalan. Coba saja lihat suasana setelah selesai acara perayaan keagamaan di sekolah, sampah bekas makanan dan minuman berserakan dimana-mana.  Padahal saya yakin seyakin-yakinnya anak-anak ini bisa menjawab dengan cepat soal di ujian mata pelajaran agama berikut :“kebersihan itu sebagian dari........”

Sayapun berpikir mungkinkah tradisi pendidikan kita di dekati dengan cara yang lain. Sebagai penggemar berat acara Kick Andy, saya berpikir apakah mungkin tradisi pendidikan kita di evaluasi dengan cara yang sama dengan penghargaan kita terhadap sosok-sosok inspiratif yang di undang di acara tersebut. Acara Kick Andy menampilkan manusia-manusia berkarakter dan inspiratif yang berbuat sesuatu untuk kemaslahatan banyak orang. Ada value dan karakter disitu. Ada seorang dokter yang membuat rumah sakit apung untuk orang-orang tidak mampu. Ada seorang supir bis yang membangun sekolah gratis untuk anak-anak tidak mampu. Ada seorang satpam yang merawat orang-orang dengan gangguan jiwa dirumahnya. Guru-guru muda yang meninggalkan karir cemerlang untuk mengajar di sekolah-sekolah di pelosok dan masih banyak lagi cerita sosok-sosok luar biasa. 

Sayapun berandai-andai kapan ada sekolah yang setiap hari mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai keteladanan dan menginspirasikan yang outcome-nya ditampilkan bukan dalam bentuk angka-angka tapi “impact” yang siswa lakukan kepada masyarakat. Hari bagi rapor dihilangkan dan digantikan dengan hari penghargaan terhadap anak-anak yang berhasil menunjukan prestasi nyata di masyarakat. Ada anak yang membuat sepatu khusus untuk membantu orang buta,  membuat inovasi perpustakaan anak, membuat alat daur ulang kertas, gerakan membebaskan trotoar dan masih banyak lagi. Anak-anak didorong untuk menjadi sosok-sosok kreatif yang mampu berbuat nyata di masyarakat. Bukan hanya menghafal jawaban-jawaban soal ujian yang beberapa hari setelah musim ujian selesai akan segera mereka lupakan. Sungguh tidak terbayang generasi seperti yang akan terjadi 10-20 tahun kemudian. Kalau ada sekolah yang seperti ini mungkin tidak ada lagi acara contek mencotek atau membeli kunci jawaban demi mendapatkan nilai tinggi yang nantinya bisa dipamerkan di hari bagi rapor atau hari pengumuman hasil ujian. Karena anak-anak ini akan lebih disibukan untuk memikirkan ‘keresahan dirinya’ atau ‘panggilan jiwanya’ untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang dari pada gelar pendidikan apa yang akan ia dapat.



4 komentar:

  1. wow..ndak nyangka ceritanya jadi begitu.

    #menyabarkandirimenunggukelanjutannya

    BalasHapus
  2. setujuuuu, membangun karakter membutuhkan waktu lama dibanding mencetak kognitif. Sy jg bingung pendidikan Indonesia mau dibawa kemana

    BalasHapus
  3. setujuuuu, membangun karakter membutuhkan waktu lama dibanding mencetak kognitif. Sy jg bingung pendidikan Indonesia mau dibawa kemana

    BalasHapus
  4. Pak yudha ini inspiratif sekali

    BalasHapus