Ted Kaczynski adalah seorang siswa yang memiliki prestasi
luar biasa. Ia terkenal sering loncat kelas karena pencapaian prestasi akademiknya
yang mengagumkan banyak teman dan gurunya. Ia menyelesaikan studi SMAnya dalam
waktu sangat cepat dan berhasil diterima di Harvard University di usianya yang
masih 16 tahun. Selanjutnya si jenius ini meneruskan kuliahnya hingga
mendapatkan gelar Ph.D. di bidang matematika dari University of Michigan.
Saya tidak bisa membayangkan jika saya menjadi Ted Kaczynski
waktu sekolah dulu. Betapa luar biasanya sekolah akan memperlakukan saya.
Bayangkan, selain memiliki nilai akademik yang tinggi, di usia 16 tahun saya
mampu memasuki sebuah universitas super bergengsi yang menjadi impian anak-anak
pintar di seluruh dunia. Saya pasti akan menjadi topik obrolan yang inspiratif
di ruang guru atau pertemuan para orang tua. Foto saya mungkin akan dipajang di
ruang tamu sekolah diatas deretan piala-piala besar yang biasanya menjadi
pemandangan khas kebanyakan ruang tamu sekolah kita. Teman-teman saya pasti akan
begitu mengagumi saya dan bangga menceritakan bahwa saya adalah teman almamaternya
dulu.
Sampai disini saya yakin anda setuju dengan gambaran bahwa anak-anak
seperti saya (eh..Ted Kaczynski maksudnya) pasti akan mendapatkan privilege luar biasa di sekolah dan
menjadi anak kesayangan para guru. Tapi tunggu dulu! Ceritanya belum selesai
sampai disini. Setelah beberapa tahun menjadi pengajar di University of
California di Barkeley, Kaczynski mengundurkan diri dan pindah ke sebuah
pedesaan di Montana dimana ia mengasingkan diri di sebuah rumah. Pada tahun
1996 ia ditangkap dan dihukum penjara seumur hidup sebagai pembunuh paling dicari
di Amerika. Kaczynski didakwa sebagai dalang misteri rentetan paket mail-bomb yang dikirim ke rumah-rumah
dan menyebabkan tewasnya banyak orang.
Anda mungkin terkejut dengan cerita Ted diatas. Bagaimana
siswa yang pintar dan mengagumkan di sekolah bisa menjadi pelaku kriminal yang
tidak berperikemanusiaan. Anehnya, pertama kali membaca cerita Ted, saya sama
sekali tidak terkejut. Fenomena anak seperti Ted hanyalah pucuk dari sebuah
gunung es dimana bagian bawahnya masih lebih besar lagi. Dalam bentuknya yang lain,
perilaku tidak berperikemanusiaan seperti Ted sebenarnya sangat subur kita
jumpai di negri ini. Kalau anda cek secara teliti hampir semua koruptor kakap
yang tertangkap aparat hukum adalah jebolan pendidikan tinggi. Mereka bukan orang-orang
yang minim prestasi. Beberapa diantara mereka bahkan doktor lulusan luar negri
dari universitas bergengsi. Saat mereka melakukan korupsi mereka jelas
melakukan tindakan tidak berperikemanusiaan. Bagaimana mungkin mereka bisa
mengoleksi rumah dan mobil sport mewah dari uang yang seharusnya diberikan
untuk anak seperti Yuliaman Zakaria (dan ratusan teman-temannya) si penderita
gizi buruk yang hanya memiliki berat 7 kg di usianya yang sudah menginjak 8 tahun.
Menurut saya para koruptor seperti ini memiliki tingkat kesadisan yang lebih
tinggi dibanding Ted Kaczynski . Herannya mereka seperti tidak pernah ada
habis-habisnya. Ditangkap satu tumbuh seribu. Fenomena terakhir malah mereka
tertangkap secara berpasangan, suami dan istrinya.
Semua ini karena ada yang salah pada proses di hulu
ketimbang hilirnya : tradisi pendidikan kita! Tradisi pendidikan yang begitu membanggakan
prestasi kognitif akan menghasilkan anak-anak yang cerdas otaknya tapi kosong
jiwanya. Gambaran yang tadi saya berikan tentang privilage sekolah yang
mengeluk-elukan anak-anak berprestasi kognitif adalah sebuah realitas yang
hampir kita jumpai di semua sekolah . Makna pendidikan yang sejatinya bertujuan
merubah perilaku manusia menjadi berkarakter mulia direduksi hanya sebagai capaian angka belaka. Cobalah rasakan suasana di hari pembagian rapor: Suasana yang
sakral. Angka-angka menjadi tujuan dan pembicaraan serius.
Bahkan dalam waktu dekat ini anda akan banyak menjumpai
spanduk-spanduk besar di depan gerbang sekolah. Isinya apalagi kalau bukan
kegenitan sekolah untuk mengatakan “SEKOLAH KAMI 100% LULUS UN” . Inilah potret
betapa angka-angka masih menjadi ‘panglima’ dalam tradisi pendidikan kita.
Sekolah punya kewajiban memamerkan angka ketimbang menunjukan keberhasilan proses
pendidikan mereka dari santunnya perilaku siswa. Pendidikan agama yang harusnya
di dekati dengan teladan justru diaplikasikan dalam bentuk – lagi-lagi - hafalan.
Coba saja lihat suasana setelah selesai acara perayaan keagamaan di sekolah,
sampah bekas makanan dan minuman berserakan dimana-mana. Padahal saya yakin seyakin-yakinnya anak-anak
ini bisa menjawab dengan cepat soal di ujian mata pelajaran agama berikut :“kebersihan
itu sebagian dari........”
Sayapun berpikir mungkinkah tradisi pendidikan kita di
dekati dengan cara yang lain. Sebagai penggemar berat acara Kick Andy, saya
berpikir apakah mungkin tradisi pendidikan kita di evaluasi dengan cara yang
sama dengan penghargaan kita terhadap sosok-sosok inspiratif yang di undang di
acara tersebut. Acara Kick Andy menampilkan manusia-manusia berkarakter dan
inspiratif yang berbuat sesuatu untuk kemaslahatan banyak orang. Ada value dan
karakter disitu. Ada seorang dokter yang membuat rumah sakit apung untuk
orang-orang tidak mampu. Ada seorang supir bis yang membangun sekolah gratis
untuk anak-anak tidak mampu. Ada seorang satpam yang merawat orang-orang dengan
gangguan jiwa dirumahnya. Guru-guru muda yang meninggalkan karir cemerlang
untuk mengajar di sekolah-sekolah di pelosok dan masih banyak lagi cerita
sosok-sosok luar biasa.
Sayapun berandai-andai kapan ada sekolah yang setiap hari
mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai keteladanan dan menginspirasikan yang outcome-nya
ditampilkan bukan dalam bentuk angka-angka tapi “impact” yang siswa lakukan
kepada masyarakat. Hari bagi rapor dihilangkan dan digantikan dengan hari penghargaan
terhadap anak-anak yang berhasil menunjukan prestasi nyata di masyarakat. Ada anak
yang membuat sepatu khusus untuk membantu orang buta, membuat inovasi perpustakaan anak, membuat alat
daur ulang kertas, gerakan membebaskan trotoar dan masih banyak lagi. Anak-anak
didorong untuk menjadi sosok-sosok kreatif yang mampu berbuat nyata di
masyarakat. Bukan hanya menghafal jawaban-jawaban soal ujian yang beberapa hari
setelah musim ujian selesai akan segera mereka lupakan. Sungguh tidak terbayang
generasi seperti yang akan terjadi 10-20 tahun kemudian. Kalau ada sekolah yang
seperti ini mungkin tidak ada lagi acara contek mencotek atau membeli kunci
jawaban demi mendapatkan nilai tinggi yang nantinya bisa dipamerkan di hari
bagi rapor atau hari pengumuman hasil ujian. Karena anak-anak ini akan lebih disibukan
untuk memikirkan ‘keresahan dirinya’ atau ‘panggilan jiwanya’ untuk berbuat
sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang dari pada gelar pendidikan apa yang
akan ia dapat.
wow..ndak nyangka ceritanya jadi begitu.
BalasHapus#menyabarkandirimenunggukelanjutannya
setujuuuu, membangun karakter membutuhkan waktu lama dibanding mencetak kognitif. Sy jg bingung pendidikan Indonesia mau dibawa kemana
BalasHapussetujuuuu, membangun karakter membutuhkan waktu lama dibanding mencetak kognitif. Sy jg bingung pendidikan Indonesia mau dibawa kemana
BalasHapusPak yudha ini inspiratif sekali
BalasHapus